Ciamis, Berandaperistiwa.com – Lemahnya kaderisasi, hilangnya militansi kader, hingga masuknya intervensi politik ke tubuh organisasi menjadi sorotan utama Nanang Heryanto usai pemilihan pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Ciamis.
Meski tidak terpilih dalam kontestasi tersebut, Nanang menegaskan tetap akan memperjuangkan gagasan pembaruan organisasi dari luar struktur PGRI Ciamis.
“Kami tidak akan diam. Perjuangan untuk mengembalikan marwah PGRI Ciamis tetap akan berlanjut, meskipun dari luar struktur,” ujar Nanang saat ditemui di Lakbok, Minggu, 6 Mei 2025.
Dikenal sebagai salah satu kandidat yang membawa semangat restorasi organisasi, Nanang memilih untuk tidak masuk dalam kepengurusan pasca pemilihan.
Menurutnya, gagasan perubahan belum mendapatkan ruang yang layak dalam struktur saat ini.
Sorotan Kaderisasi dan Militansi
Nanang menyebut tantangan utama yang dihadapi PGRI Ciamis adalah lemahnya proses regenerasi.
Ia mengkritisi pola kaderisasi yang hanya berorientasi pada pergantian nama dan jabatan, tanpa menyentuh aspek ideologis dan militansi.
“Regenerasi bukan hanya soal mengganti wajah. Ini tentang membangun militansi, tentang menciptakan kader yang benar-benar siap berjuang membela kepentingan guru. Bukan hanya menikmati posisi, tapi betul-betul bekerja,” tegasnya.
Menurutnya, organisasi profesi guru yang kuat hanya bisa bertahan jika diisi oleh kader-kader yang memiliki keteguhan nilai dan kesadaran perjuangan, bukan sekadar kehadiran administratif.
Menolak Intervensi Kekuasaan
Nanang juga memperingatkan agar PGRI tidak menjadi alat kekuasaan.
Ia menyebut, kecenderungan intervensi pihak luar, khususnya dari birokrasi dan kekuatan politik, mulai memasuki ruang-ruang organisasi.
“Kalau kadernya tidak punya pegangan ideologis yang kuat, maka akan mudah goyah dan jadi perpanjangan tangan pihak luar. PGRI ini organisasi profesi guru, bukan alat kekuasaan,” katanya.
Ia menekankan pentingnya memperkuat fondasi nilai dan idealisme di dalam tubuh organisasi, agar PGRI tetap menjadi milik guru dan tidak terseret pada kepentingan jangka pendek.
Kritik pada Kultur Organisasi
Dalam pernyataannya, Nanang juga menyindir fenomena kader yang hanya vokal saat berada di luar struktur, namun menjadi pasif ketika telah menduduki posisi resmi.
“Kalau hanya berani bersuara dari luar, lalu diam saat berada di dalam, maka itu bukan kader yang sehat. Kita perlu orang-orang yang mau kerja nyata, yang berani turun ke lapangan, bukan hanya hadir secara simbolik,” ujarnya.
Menurutnya, organisasi profesi seharusnya mendorong budaya kerja dan keberanian bertindak, bukan hanya kehadiran dalam seremoni.
Nanang menegaskan bahwa perjuangan untuk menjadikan PGRI Ciamis sebagai organisasi yang lebih terbuka, demokratis, dan berpihak pada kepentingan guru tidak bergantung pada jabatan formal.
“Restorasi PGRI tidak harus dilakukan dari dalam saja. Selama masih ada ruang untuk menyuarakan kebenaran dan perubahan, saya akan tetap bergerak. Jabatan bukan ukuran loyalitas,” katanya.
Restorasi sebagai Agenda Jangka Panjang
Ia mengajak seluruh elemen organisasi untuk menjaga integritas dan etika, serta membuka ruang klarifikasi terhadap berbagai dinamika pemilihan.
“Kalau memang ada yang selama ini menebar isu-isu sesat demi memuluskan jalan kemenangan, saya beri kesempatan untuk menjelaskan ke publik. Ini bukan tentang saya, tapi tentang menjaga etika dan integritas organisasi,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Nanang mengajak seluruh anggota dan pengurus PGRI Ciamis untuk tetap bersatu dalam semangat perjuangan guru.
Ia mengingatkan agar organisasi tidak terjebak pada kepentingan pribadi dan politik jangka pendek.
“PGRI adalah rumah besar perjuangan guru. Jangan biarkan organisasi ini kehilangan jiwanya hanya karena ambisi dan kepentingan sesaat,” pungkasnya.***
Views: 27