BerandaPeristiwa.com – “Kapan kamu mati?” Pertanyaan itu biasanya muncul dari sudut gelap pikiran manusia. Death Clock bisa menjawab pertanyaan kamu.
Tapi sekarang, di era di mana hampir semua hal bisa diprediksi dengan bantuan teknologi, dari cuaca sampai skor bola, pertanyaan soal ajal pun bisa dijawab oleh sebuah aplikasi.
Namanya Death Clock.
📌 Link situs: https://www.death-clock.org
Sebuah situs sederhana dengan tampilan minimalis, tapi isinya cukup bikin dada sesak dan kening berkeringat.
Klaimnya? Memprediksi kapan kamu akan meninggal dunia.
Tapi tenang dulu, ini bukan ramalan mistis atau produk cenayang digital. Ini cuma statistik, yang dibungkus dengan dark humor.
Dari Statistik Jadi Estimasi Kematian
Ketika kamu mengakses situs death-clock.org, kamu akan disambut dengan form isian.
Mulai dari tanggal lahir, jenis kelamin, apakah kamu merokok atau tidak, hingga outlook hidup: optimis, netral, atau pesimis.
Lalu kamu klik “Check Your Death Clock”… dan taraa!
Di layar muncullah tanggal kematianmu versi algoritma mereka.
Kadang tanggalnya masuk akal, kadang absurd. Kadang malah bikin ngakak karena hasilnya tinggal 3 tahun lagi padahal kamu baru 25 tahun.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa algoritma situs ini hanya menggunakan data statistik dari WHO dan angka harapan hidup berdasarkan negara.
Jadi yang mereka hitung adalah rata-rata hidup manusia berdasarkan gaya hidup dan demografi, bukan hasil medical check-up atau tes DNA.
Dengan kata lain, hasilnya lebih ke estimasi yang bersifat spekulatif, alias iseng semata.
Bercanda Tapi Ngena
Lucunya, meski Death Clock mengusung konsep yang menyeramkan, situs ini justru ramai digunakan.
Sejak diluncurkan, situs ini telah diakses jutaan kali oleh pengguna dari seluruh dunia.
Beberapa orang menjadikannya sebagai hiburan, ada yang menggunakannya untuk konten media sosial, dan sebagian lainnya justru mengaku termotivasi untuk hidup lebih sehat setelah melihat “tanggal kematian” mereka.
Contohnya, Bejo (27), seorang freelancer asal Kota Banjar. Ia awalnya iseng mengisi form Death Clock karena ditantang temannya.
“Aku pikir ini konyol. Tapi begitu lihat tanggalnya, kok kayak, ngeri juga. Masih 47 tahun lagi, tapi tiba-tiba jadi mikir, selama ini hidup ngapain aja,” katanya sambil tertawa.
Di sisi lain, ada juga yang bereaksi sebaliknya. Beberapa pengguna di Twitter bahkan sempat mengunggah tangkapan layar yang menunjukkan usia mereka hanya tersisa 5–10 tahun.
“Gue harus diet dari sekarang,” tulis salah satu akun.
Manfaat Terselubung: Refleksi Diri
Meski tidak bisa dianggap serius, Death Clock sebenarnya menyentil satu hal penting, yaitu kesadaran akan kematian dan pentingnya menjaga kesehatan.
Setelah memberikan hasil estimasi, situs ini akan menampilkan daftar tips untuk memperpanjang usia, antara lain:
- Berhenti merokok
- Menjaga berat badan
- Pola makan sehat
- Olahraga teratur
- Tidur cukup
- Mengelola stres
- Rutin cek kesehatan
- Aktif bersosialisasi
Tips-tips ini bukan karangan belaka. Berbagai studi medis memang menunjukkan bahwa kebiasaan positif ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup secara signifikan.
Jadi meski berangkat dari konsep “kematian”, Death Clock justru menawarkan panduan hidup yang sehat dan penuh kesadaran.
Humor Kematian di Dunia Digital
Fenomena Death Clock bukan yang pertama. Sebelumnya ada berbagai bentuk “death calculator” yang pernah viral, baik dalam bentuk aplikasi maupun filter Instagram.
Namun Death Clock berhasil bertahan karena dua hal, yaitu kesederhanaannya dan cara penyajiannya yang setengah serius, setengah bercanda.
Di era digital saat ini, humor soal kematian bukan hal tabu lagi.
Banyak generasi muda yang menanggapi tema ini dengan sarkasme dan humor gelap.
Salah satunya melalui meme seperti “I wish I was dead” atau “Death is my deadline”.
Death Clock masuk dalam lanskap budaya digital ini, sebagai refleksi betapa absurdnya hidup dan betapa cepatnya waktu berlalu.
“Bagi generasi sekarang, kematian bukan hanya ditakuti, tapi juga dijadikan bahan guyon,” kata Yoyo Sutarya, pengamat budaya digital dari Ciamis.
“Ini semacam cara untuk berdamai dengan ketakutan terbesar manusia,” tambahnya.
Jangan Terlalu Serius, Tapi Jangan Lengah
Tentu saja, meski seru dan menarik, situs seperti Death Clock tidak boleh dijadikan acuan kesehatan utama.
Prediksi mereka tidak mempertimbangkan riwayat penyakit, faktor genetik, atau kondisi lingkungan yang nyata. Ini murni simulasi statistik.
Tapi justru karena itu, Death Clock bisa menjadi momentum refleksi yang ringan tapi cukup dalam.
Ia mengingatkan kita bahwa waktu itu terbatas, dan bagaimana kita menjalaninya adalah pilihan masing-masing.
Kematian adalah sesuatu yang pasti. Tapi bagaimana kita hidup sebelum itu terjadi, itulah yang bisa kita atur.
Mati yang Menghidupkan
Death Clock mungkin hanya sebuah aplikasi iseng.
Tapi seperti guyonan yang menyimpan kebenaran pahit, ia menyajikan satu pesan kuat, kamu hidup sekarang, dan suatu saat akan mati. Jadi apa yang akan kamu lakukan dengan sisa waktumu?
Mau kamu pakai buat scrolling medsos? Rebahan sambil nonton serial sampai ketiduran? Atau mulai jaga pola makan, reconnect sama orang-orang terdekat, dan belajar sesuatu yang baru?
Toh seperti kata pepatah lama, hidup itu singkat. Tapi bukan berarti harus dijalani sembarangan.
Dan kalau sebuah kalkulator kematian bisa bikin kamu sadar akan itu, mungkin ia lebih berguna dari yang kita kira.***
Views: 6