Dugaan Rembesan Gula Rafinasi dari Lakbok Ciamis: Menjarah Negara Lewat Celah Regulasi

Dugaan rembesan atau distribusi ilegal gula kristal rafinasi dari Lakbok, Ciamis, berpotensi merugikan negara hingga miliar rupiah per tahun

Dugaan Rembesan Gula Rafinasi dari Lakbok Ciamis: Menjarah Negara Lewat Celah Regulasi/Ilustrasi oleh AI
Dugaan Rembesan Gula Rafinasi dari Lakbok Ciamis: Menjarah Negara Lewat Celah Regulasi/Ilustrasi oleh AI
banner 120x600
banner 468x60

Ciamis, Berandaperistiwa.com,- Dugaan rembesan gula kristal rafinasi (GKR) atau gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga, seperti yang terjadi di Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis, bukan sekadar pelanggaran distribusi.

Dugaan rembesan gula rafinasi ini bisa menyebabkan kebocoran besar terhadap potensi penerimaan negara, baik dari sisi perpajakan maupun penerimaan non-pajak.

banner 325x300

Salah satu kasus mencuat dari aktivitas salah satu CV di Lakbok, yang diduga mendistribusikan gula rafinasi secara ilegal hingga puluhan ton per minggu.

Aktivitas semacam ini berimplikasi langsung terhadap hilangnya potensi penerimaan negara dari berbagai lini.

Hilangnya Penerimaan Bea Masuk dan PPN Impor

Gula rafinasi yang diimpor secara legal dikenakan bea masuk sebesar 5–10 persen tergantung kode HS (1701.99) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 6/2022, serta PPN impor sebesar 11 persen sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) 2022.

Impor gula rafinasi seharusnya dilaporkan secara berkala sesuai Permendag No. 01/2019 dan Permendag No. 17/2022.

Namun, jika gula rafinasi masuk secara ilegal atau tidak dilaporkan, negara kehilangan bea masuk dan PPN impor.

Perkiraan kerugian negara dari satu CV yang misalnya mendistribusikan sekitar 90 ton gula rafinasi setiap minggunya, dengan harga rata-rata Rp8.000 per kilogram, bisa mencapai angka yang signifikan:

  • Bea Masuk (5%): Rp36 juta/minggu
  • PPN Impor (11%): Rp79,2 juta/minggu
  • Total per minggu: Rp115,2 juta
  • Total per tahun: Rp5,99 miliar

Jika pola ini dilakukan oleh 10 CV di wilayah Lakbok Ciamis, potensi kerugian negara mencapai hampir Rp60 miliar per tahun.

Kebocoran Pajak Penjualan: PPN dan PPh

Distribusi gula rafinasi ke industri seharusnya juga dikenakan PPN penjualan dan Pajak Penghasilan (PPh) badan.

Namun, dalam banyak kasus rembesan, transaksi dilakukan tanpa faktur pajak, terutama jika pembeli adalah IKM yang tidak terdaftar.

Sebagai contoh, sebuah IKM milik Pak S di Kota Banjar yang diperkirakan membeli setidaknya 700 kg GKR per minggu, diduga tidak memiliki bukti transaksi yang sah secara hukum.

Dari satu CV saja, potensi kerugian negara atas penjualan tanpa pajak diperkirakan:

  • PPN Penjualan: Rp79,2 juta/minggu
  • PPh Badan (asumsi laba 20%): Rp31,7 juta/minggu
  • Total: Rp110,9 juta/minggu atau Rp5,77 miliar/tahun

Jika dilakukan oleh 10 CV, kerugian negara bisa mencapai Rp57,7 miliar/tahun.

Kehilangan PNBP dari Izin Distribusi

Impor dan distribusi gula rafinasi juga dikenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti biaya administrasi izin distribusi dari Kementerian Perdagangan.

Namun, CV ini diduga bukanlah distributor resmi, sehingga tidak memiliki Surat Penunjukan dan tidak membayar PNBP.

Dengan asumsi biaya izin sebesar Rp10 juta per tahun per CV, maka 10 CV yang tidak terdaftar bisa menyebabkan kehilangan Rp100 juta PNBP per tahun.

Meski kecil, akumulasi ini tetap signifikan.

Dampak Makroekonomi: Petani Merugi, Swasembada Terhambat

Rembesan gula rafinasi menekan harga gula petani (GKP).

Berdasarkan data dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi yang seharusnya diperuntukkan bagi kebutuhan industri telah memberikan dampak signifikan terhadap harga gula konsumsi hasil produksi petani tebu.

Dalam tiga tahun terakhir, rembesan gula rafinasi ini menyebabkan penurunan harga gula dari pabrik tebu lokal (GKP) hingga mencapai 20%.

Akibatnya, 1 juta ton gula petani tidak terserap pasar. Estimasi kerugian mencapai Rp2 triliun per tahun.

Bila PPh petani diasumsikan sebesar 2 persen, negara kehilangan sekitar Rp40 miliar dari sektor ini.

Selain itu, industri kecil menengah (IKM) turut terdampak akibat persaingan harga yang tidak sehat.

Jumlah IKM berbasis gula di Indonesia mencapai 3,9 juta unit (BPS 2019).

Penurunan pendapatan mereka juga berdampak pada penurunan PPh badan, yang diperkirakan mencapai Rp100 miliar secara nasional.

Estimasi Total Kerugian Negara

Bila dijumlahkan secara kasar:

  • Per CV: Rp11,77 miliar/tahun
  • 10 CV di Lakbok: Rp117,7 miliar/tahun
  • Ditambah dampak makro ekonomi (petani, IKM): sekitar Rp140–150 miliar/tahun untuk wilayah Banjar,  Ciamis, Pangandaran, serta Jawa Tengah.

Pada skala nasional, dengan estimasi rembesan gula rafinasi mencapai 500 ribu ton per tahun (data 2019), potensi kebocoran pajak dapat mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.

Alur Distribusi Legal Gula Rafinasi

Ketua Umum Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (AIKMA) Ir. Suyono menjelaskan bahwa hanya pihak tertentu yang berwenang menjadi distributor resmi gula rafinasi sesuai Permendag No. 01/2019 dan No. 17/2022.

Pihak tertentu tersebut yakni:

  • Produsen GKR: Seperti PT Medan Sugar Industry dan anggota AGRI.
  • Koperasi: Yang memiliki izin dari Kemenkop UKM dan ditunjuk Kemendag.
  • Badan Usaha AGRI: Yang mendapatkan rekomendasi dari Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) dan Surat Penunjukan dari Kemendag.

“Aturannya sudah jelas,” tegas Suyono, Kamis (8/5/2025).

Alur distribusi legal dimulai dari pengajuan izin distribusi melalui Sistem Informasi Perizinan Terpadu (SIPT), kemudian Kemendag menerbitkan Surat Penunjukan disertai kuota.

Gula dikemas dan dilengkapi dengan e-barcode (Permendag 16/2017) untuk keperluan pelacakan.

Distribusi yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur tersebut berpotensi menyebabkan kerugian negara dan mengacaukan ekosistem ekonomi nasional.

“Jika ada larangan tentu ada sanksi bagi yang melanggar. Mulai dari sanksi administratif hingga pidana, yang ngeyel izin usahanya juga bisa dicabut,” tegas Suyono.****

Views: 51

Views: 7

banner 325x300