Industri Gula Pasak di Kota Banjar Butuh Pembenahan Serius

Penggunaan gula rafinasi dan bahan tambahan makin marak tanpa pelabelan yang jelas. Ketidaktegasan pengawasan berpotensi menjerumuskan industri lokal ke jurang ketidakpercayaan dan masalah hukum

Industri Gula Pasak di Kota Banjar Butuh Pembenahan Serius. (Ilustrasi dibuat AI)
Industri Gula Pasak di Kota Banjar Butuh Pembenahan Serius. (Ilustrasi dibuat AI)
banner 120x600
banner 468x60

Kota Banjar, Berandaperistiwa.com,- Industri gula pasak atau gula olahan di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, masih menjadi penggerak ekonomi masyarakat.

Namun di balik geliat produksi gula pasak, tersembunyi persoalan serius: lemahnya pengawasan terhadap bahan baku dan pelabelan produk.

banner 325x300

Penggunaan bahan seperti gula rafinasi, molases, glukosa, dan bahkan sodium metabisulfit sudah menjadi praktik umum dalam proses produksi.

Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah penderes nira yang selama ini menjadi sumber utama gula merah tradisional.

Kondisi di Lapangan

Namun, pantauan lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar produk yang beredar tidak mencantumkan komposisi bahan pada kemasannya.

Kondisi ini tak hanya melanggar regulasi, tapi juga membahayakan konsumen dalam jangka panjang.

“Kami cuma kunjungan ke lokasi lewat puskesmas, nggak ada pengawasan khusus soal kesehatan atau komposisi. Itu wewenangnya BPOM,” ungkap Endang Hamdan, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Banjar, saat dikonfirmasi pada Kamis (17/4/2025).

Selain itu, Endang juga menyampaikan bahwa pihaknya hanya bertanggungjawab terkait penerbitan izin PIRT.

Ironisnya, saat ditelusuri lebih jauh, terjadi lempar tanggung jawab antara bidang Kesmas dan Farmasi.

Kedua bidang saling mengarahkan tanpa ada kejelasan lembaga mana yang bertanggung jawab atas pengawasan produk gula olahan.

Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP Nomor 69 Tahun 1999 jelas mengatur kewajiban mencantumkan komposisi bahan pangan dalam label produk.

Di sisi lain, para pelaku usaha juga berada dalam tekanan.

Sadiman, pelaku industri gula olahan asal Dusun Sukanagara, Desa Kutawaringin, menyampaikan bahwa sejak 2014 ia harus berinovasi karena krisis bahan baku gula merah tebu (GMT).

“Dulu pakai GMT, sekarang ganti molases karena lebih murah. Tapi kalau koperasi resmi belum ada, pengadaan bahan susah dan modal jadi berat,” katanya.

Usaha Sadiman mempekerjakan 20 orang dan memproduksi 8,7 ton gula olahan per minggu.

Namun, ketiadaan regulasi yang jelas dan lemahnya pembinaan membuatnya berada di zona abu-abu hukum.

Ia berharap pemerintah pusat dari pemerintah daerah dapat membantu menyusun ekosistem industri yang sehat.

“Kalau ada koperasi, bahan bisa lebih mudah diatur dan kami juga bisa diarahkan untuk patuh aturan. Jangan kami dibiarkan jalan sendiri terus disalahkan,” tambahnya.

Dari sini, tampak jelas perlunya pendekatan baru dari pemerintah daerah. Bukan sekadar kunjungan formal, tapi hadir sebagai pembina dan pengawas yang aktif.

Dorongan untuk Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha

Para pengusaha seperti Sadiman tidak bisa dibiarkan berjalan dalam ruang abu-abu.

Pemerintah daerah, terutama Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Koperasi, perlu menyusun ulang pembagian wewenang dan SOP pengawasan pangan olahan.

Selain itu, perlu juga melakukan pendampingan dan edukasi regulasi kepada pelaku usaha.

Kemudian, mendorong pembentukan koperasi yang dapat menjamin suplai bahan baku legal dan terkontrol.

Sementara itu, pelaku usaha juga harus mulai melek hukum dan melindungi usahanya dengan kepatuhan terhadap regulasi pelabelan, demi menjaga kepercayaan konsumen dan keberlangsungan industri.

Tanpa perbaikan menyeluruh, industri gula olahan di Kota Banjar terancam kehilangan fondasi kepercayaannya.

Padahal, di tangan yang tepat, sektor ini dapat menjadi kekuatan ekonomi lokal yang tangguh, sekaligus aman bagi masyarakat luas.***

Views: 13

Views: 7

banner 325x300