Bawaslu Perlu Penguatan Kewenangan dalam Penanganan Pidana Pemilu

Praktisi politik dari Perkumpulan Meswara, Mega Nugraha Sukarna menyarankan penguatan kewenangan Bawaslu khususnya dalam penanganan pidana pemilu. (Foto: Istimewa)
Praktisi politik dari Perkumpulan Meswara, Mega Nugraha Sukarna menyarankan penguatan kewenangan Bawaslu khususnya dalam penanganan pidana pemilu. (Foto: Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

CIAMIS – Praktisi politik dari Perkumpulan Meswara, Mega Nugraha Sukarna, menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kurang efektif dalam menangani pidana pemilu.

Menurutnya, kelemahan ini disebabkan oleh keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga tersebut.

banner 325x300

Sorry to say, Bawaslu terasa kurang berguna dalam menangani urusan pemilu, khususnya dalam aspek pidana. Kewenangannya terbatas,” kata Mega saat mengisi materi pada acara Rapat Koordinasi Evaluasi dan Proyeksi Penanganan Pelanggaran Pemilu 2024 di Hotel Larissa, Sabtu (28/12/2024).

Mega menjelaskan, penanganan pidana pemilu sepenuhnya ada di bawah Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Proses di Gakkumdu membutuhkan syarat formil dan materiil yang sulit dipenuhi dalam waktu singkat.

Durasi penanganan perkara yang hanya tujuh hari sering kali membuat barang bukti atau saksi hilang sebelum penyidikan selesai.

Ia menambahkan, peran Bawaslu dalam pidana pemilu menjadi lemah karena saat ini lembaga tersebut hanya berfungsi sebagai pengawas.

Untuk meningkatkan efektivitas, Mega mengusulkan agar Bawaslu diberi kewenangan sebagai penyelidik dan diberi hak untuk menyita barang bukti dalam konteks pemilu.

Namun, ia menekankan bahwa kewenangan ini harus terbatas, tanpa hak untuk melakukan penangkapan, agar tidak disalahgunakan.

Gak sampe penangkapan, nanti Bawaslu keenakan,” tambah Mega.

Opsi kedua adalah memperkuat peran Bawaslu dalam aspek administratif. Mega menyebut bahwa Bawaslu bisa diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif, seperti membatalkan pencalonan kandidat yang terlibat politik uang atau melarang kampanye.

“Bawaslu harus diperkuat untuk menindak pelanggaran administrasi, seperti politik uang. Pelanggaran ini bisa dihukum dengan pembatalan pencalonan atau larangan kampanye,” jelas Mega.

Ia mencontohkan bahwa dalam UU Pilkada, pelanggaran politik uang sebenarnya bisa ditangani melalui jalur administrasi maupun pidana.

Kemudian, Ia juga mengidentifikasi tiga pelanggaran pidana yang sering terjadi, pertama, keterlibatan kepala desa dalam mendukung salah satu kandidat.

Kedua, Manipulasi hasil pemilu oleh penyelenggara. Ketiga, Politik uang, yang sulit ditindak karena keterbatasan bukti dan waktu.

Wacana Omnibus Law Politik

Lebih lanjut, Mega juga menyinggung rencana pembahasan omnibus law politik yang mencakup revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik.

Termasuk wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, sistem yang pernah diterapkan sebelum 2005.

Ia menilai sistem ini lebih hemat biaya dan dapat mengurangi manipulasi terbuka. Meskipun manipulasi tetap ada, menurut Mega dampaknya akan lebih terbatas karena hanya melibatkan anggota DPRD.

Ciamis bisa belajar lebih awal, karena tahun ini wakil bupatinya akan dipilih melalui mekanisme di DPRD,” jelas Mega.

Pemilu langsung, lanjut Mega, tidak selalu mencerdaskan masyarakat, malah sering kali menurunkan moralitas politik dan cenderung “mendehumanisasi” masyarakat dengan mengikis nilai-nilai etika dan memperparah praktik politik uang.

“Pemiliham secara langsung seringkali menjadi ajang masyarakat meminta uang kepada kandidat. Ini menciptakan semacam ‘gelandangan politik’ setiap lima tahun sekali,” katanya.

Namun, Mega mengingatkan bahwa keputusan ini harus dikaji dengan matang, karena setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan.

“Perbaikan sistem pemilu kita ini agar “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya” di potongan lirik lagu Indonesia Raya bisa terwujud,” katanya.***

Views: 14

Views: 12

banner 325x300