Refleksi Hari Perempuan Internasional: Tantangan dan Harapan di Era Digital

Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan anak Forum mahasiswa dan Pemuda Galuh Tabayun

Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Forum Mahasiswa dan Pemuda Galuh Tabayun, Zaina Amalia Fitrina Dewi, S.Pd menyampaikan refleksi Hari Perempuan Internasional tahun 2025. (Foto: Istimewa)
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Forum Mahasiswa dan Pemuda Galuh Tabayun, Zaina Amalia Fitrina Dewi, S.Pd menyampaikan refleksi Hari Perempuan Internasional tahun 2025. (Foto: Istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

Ciamis,- Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) yang diperingati setiap 8 Maret bukan sekadar seremoni tahunan tetapi momentum penting untuk merefleksikan perjuangan perempuan dalam meraih keadilan dan kesetaraan gender.

Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Forum Mahasiswa dan Pemuda Galuh Tabayun, Zaina Amalia Fitrina Dewi, S.Pd, menekankan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan di berbagai sektor, termasuk industri dan dunia digital.

banner 325x300

Ketimpangan Gender di Dunia Kerja dan Hak Perempuan yang Terabaikan

Kesetaraan gender bukan hanya soal representasi, tetapi juga tentang hak, tanggung jawab, kesempatan, dan perlakuan yang adil bagi laki-laki maupun perempuan.

Namun, dalam praktiknya, perempuan masih sering menjadi korban eksploitasi dalam sistem ekonomi kapitalis.

“Perempuan masih menjadi objek eksploitasi dalam dunia industri. Hak-hak biologis mereka, seperti haid, kehamilan, nifas, dan menyusui, sering kali belum mendapat perhatian yang layak,” ujar Zaina, Senin (10/5/2025).

Minimnya fasilitas yang mendukung kesehatan reproduksi perempuan di tempat kerja menunjukkan bahwa kesadaran akan hak perempuan masih rendah.

Hal ini berdampak pada kesejahteraan dan keamanan mereka dalam beraktivitas di ruang publik.

Dampak Media Sosial: Perempuan dalam Jeratan Standar Sosial

Di era digital, perempuan menghadapi tantangan baru berupa kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Penyebaran tren di media sosial sering kali menciptakan standar yang menekan perempuan, seperti definisi tubuh ideal dan gaya berpakaian tertentu.

“Banyak perempuan yang merasa tertekan karena standar sosial tentang tubuh dan gaya berpakaian yang ideal. Jika tidak memenuhi standar tersebut, mereka bisa mengalami perundungan dan penghinaan,” jelas Zaina.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana sesama perempuan pun bisa saling menekan melalui tren yang dinormalisasi di media sosial.

Tanpa disadari, lanjut Zaina, hal ini dapat membentuk budaya diskriminatif yang semakin memperburuk ketimpangan gender.

Refleksi IWD: Bijak Bermedia Sosial dan Menghentikan Normalisasi Kekerasan

Momentum IWD 2025 seharusnya menjadi ajang refleksi bagi semua pihak, baik perempuan maupun laki-laki, untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Zaina mengajak masyarakat untuk berhenti menormalisasi tren yang berpotensi memicu KBGO, dengan cara:

  • Tidak ikut serta dalam tren yang merugikan perempuan, baik dalam bentuk body shaming, standar kecantikan yang tidak realistis, maupun konten yang mengeksploitasi perempuan.
  • Menjaga etika dalam berkomentar di media sosial, tidak ikut menyebarkan ujaran kebencian atau hinaan terhadap perempuan.
  • Mendukung kebijakan dan gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk di tempat kerja dan ruang publik.

“Kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga laki-laki. Kita semua harus berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi perempuan, baik di dunia nyata maupun digital,” tutupnya.***

Views: 70

Views: 23

banner 325x300

Tinggalkan Balasan