Ciamis, Beranda Peristiwa — Koleksi benda purbakala dari Situs Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, masih banyak yang tercecer dan belum terdata dengan baik.
Minimnya literasi konservasi serta kepercayaan magis di tengah masyarakat disinyalir menjadi penyebab banyaknya artefak penting Situs Tambaksari yang hilang dari catatan arkeologis.
Di tengah suasana sunyi sebuah museum kecil di Tambaksari, Juru Pelihara Situs Museum Fosil Tambaksari, Gilang Nugraha, menunjuk lemari kaca tempat tiga kapak persegi disimpan.
Benda peninggalan manusia purba itu kini tinggal segelintir, meski dulu pernah ditemukan dalam jumlah lebih banyak.
“Dulu banyak masyarakat yang menemukan, tapi karena dianggap punya kekuatan klenik, tidak dikembalikan atau dilaporkan,” ujar Gilang, Kamis (24/7/2025).
Menurut Gilang, sebagian besar koleksi awal situs berasal dari masyarakat, termasuk dari SMPN 1 Tambaksari.
Di sekolah tersebut, masih tersimpan sekitar 20 kapak persegi.
Namun, jumlah tersebut belum mencerminkan keseluruhan artefak yang sempat ditemukan. Sebagian besar raib begitu saja.
Ditemukan Siswa, Diterlantarkan Negara
Penelitian ilmiah pertama di kawasan Tambaksari dilakukan oleh J. van Houten pada 1920.
Ia menemukan fosil vertebrata di timur laut Rancah.
Kajian berlanjut oleh sejumlah peneliti seperti van Es (1931) dan von Koenigswald (1934).
Namun penemuan paling signifikan justru datang dari kalangan pelajar.
Pada akhir 1990-an, sekelompok siswa SMPN Tambaksari menemukan sejumlah fosil penting di bawah bimbingan guru biologi mereka, Darwa Hardiya Ruhyana.
Penemuan mereka mencakup fragmen tulang hewan purba, alat batu, hingga berbagai fosil vertebrata.
“Yang paling fenomenal adalah gigi seri homonid yang diperkirakan berusia 500–600 ribu tahun,” ujar Gilang.
Penemuan itu terjadi saat ekskavasi Tebing Cisanca pada 1999, melibatkan sejumlah lembaga seperti Balai Arkeologi Bandung, STTNas Yogyakarta, dan dua universitas dari Amerika Serikat.
Namun hingga kini, jejak gigi fosil itu tak jelas keberadaannya.
“Nggak tahu ke mana sekarang. Rimbanya tidak jelas,” ujarnya.
Minim Perhatian, Minim Data
Situs Museum Fosil Tambaksari kini menempati bangunan yang dulunya bernama Gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya.
Gedung ini diresmikan pada 2004 oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Danny Setiawan.
Pada 2024, bangunan tersebut direhabilitasi oleh Badan Geologi dan berganti nama menjadi Museum Fosil Tambaksari.
Meski demikian, perhatian dari pemerintah dinilai masih kurang.
Menurut Gilang, tidak ada pendampingan serius dalam mengelola warisan prasejarah yang tersisa.
“Banyak koleksi yang bahkan sudah dibawa ke Bandung, tapi tidak semua tercatat atau diinformasikan secara terbuka,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan fasilitas, koleksi museum tetap bertahan berkat inisiatif lokal, termasuk dukungan dari para guru dan tokoh masyarakat yang peduli sejarah.
Tantangan Konservasi Lokal
Fenomena di Tambaksari mencerminkan dilema konservasi di daerah: antara pengetahuan ilmiah dan kepercayaan lokal.
Kepercayaan bahwa kapak persegi memiliki daya magis masih memengaruhi cara masyarakat memperlakukan artefak prasejarah.
Upaya sistematis untuk menginventarisasi dan mengedukasi publik masih sangat dibutuhkan.
Jika tidak, warisan geologis dan sejarah manusia purba di Tambaksari dikhawatirkan akan lenyap begitu saja, terkikis oleh waktu dan kelalaian.
“Fosil itu sangat penting. Tapi kalau kita sendiri tak peduli, siapa lagi?” tegas Gilang.***
Views: 0