CIAMIS,- Sejumlah sekolah dasar di Kabupaten Ciamis diduga masih menjual Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada siswa, meskipun aturan sudah melarang praktik tersebut.
Orang tua siswa pun mengeluhkan kebijakan ini karena dianggap membebani mereka secara finansial.
Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, dengan tegas melarang penjualan LKS di sekolah.
Dalam unggahan di akun Instagramnya @dedimulyadi71, Jumat (7/2/2025), ia menegaskan bahwa sekolah tidak boleh menjadi tempat transaksi jual beli, termasuk penjualan buku, seragam, dan kegiatan berbayar lainnya.
“Sekolah tidak boleh jual buku, sekolah tidak boleh lagi jual LKS, sekolah tidak boleh lagi jual seragam dan berbagai kegiatan. Sekolah tidak boleh menyelenggarakan kegiatan study tour yang di dalamnya ada pengutan, termasuk kegiatan-kegiatan seperti renang dan sejenisnya yang di dalamnya ada pengutan pada siswa,” ucap Dedi diunggahan akun Instagramnya.
Menurut Dedi, praktik ini membebani siswa dan orang tua, serta sering menjadi sorotan negatif.
Faktanya, Banyak SD di Ciamis Masih Jual LKS
Salah satu sekolah dasar di Kecamatan Cidolog, penjualan LKS bahkan dilakukan langsung oleh seorang guru dan diketahui oleh kepala sekolah. Namun, kepala sekolah membantah keterlibatannya.
“Kami justru tidak mau ada penjualan buku karena riskan,” ujar kepala sekolah tersebut.
Ia menjelaskan bahwa administrasi penjualan dipegang oleh seorang guru senior berinisial C.
“Saya baru tiga tahun di sini. Semua administrasi penjualan buku dipegang oleh beliau. Namun, karena situasinya seperti ini, saya terpaksa harus membackup,” tambahnya.
Menurut informasi yang diperoleh, praktik jual beli LKS ini terjadi hampir di seluruh SD di Kecamatan Cidolog, dengan berbagai CV sebagai pemasok buku.
Salah satu wali murid mengaku terkejut ketika anaknya tiba-tiba meminta uang untuk membeli buku tanpa pemberitahuan dari sekolah.
“Tahu-tahu anak saya minta uang Rp30 ribu buat beli buku. Saya merasa kaget karena sebelumnya tidak ada informasi apa pun dari sekolah,” ujar D salah satu orang tua siswa, Jumat (24/1/2025).
Tak hanya di Cidolog, praktik serupa juga ditemukan di Kecamatan Cisaga.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Berandaperistiwa.com, siswa di salah satu sekolah harus membeli lima jenis LKS dengan total harga Rp58 ribu.
Kelima LKS tersebut meliputi LKS Terpadu, Agama, Penjaskes, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
Seorang wali murid kelas 6, AT, meminta pemerintah bertindak tegas terhadap sekolah yang masih menjual LKS.
“Kalau memang ada aturan yang melarang, kenapa masih ada sekolah yang menjual? Pemerintah harus lebih tegas dalam mengawasi,” katanya.
Masalah Sistemik, Perlu Pengawasan Lebih Ketat
Menanggapi temuan ini, Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Ciamis, Sigit Ginanjar, menegaskan bahwa sekolah tidak boleh menjual LKS dalam bentuk apa pun.
“Kita dari Disdik sudah tegas, tidak boleh jual beli LKS di sekolah,” ujarnya, Senin (3/2/2025).
Ia juga menegaskan bahwa kepala sekolah yang terbukti melakukan praktik ini akan dikenakan sanksi.
“Sanksinya berupa teguran bagi kepala sekolah. Jangan sampai ada yang menjual LKS di sekolah,” tegas Sigit.
Pengamat pendidikan Widianto Nugroho menyampaikan bahwa praktik penjualan LKS di sekolah bukan hal baru dan masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Selain membebani ekonomi orang tua siswa, praktik ini juga berpotensi menciptakan ketimpangan dalam pembelajaran antara siswa yang mampu membeli dan yang tidak.
Sebagai solusi, Widianto merekomendasikan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan memastikan buku pelajaran, termasuk LKS, tersedia secara gratis bagi siswa.
“Pendidikan harus inklusif dan tidak memberatkan orang tua. Pemerintah harus memastikan aturan ini benar-benar ditegakkan,” tegasnya.
Kemudian, ia merujuk pada Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa sekolah tidak boleh menjual buku kepada siswa.
Selain itu, Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11 juga secara tegas melarang penjualan buku pelajaran di sekolah.
“Regulasi jelas melarang penjualan buku pelajaran kepada siswa, apalagi jika buku tersebut menjadi bahan ajar utama. Ini hanya menambah beban orang tua,” jelasnya.***
Views: 112