CIAMIS,- Pemkab Ciamis melalui DP2KBP3A bekerjasama dengan DP3AKB Jabar menggelar pertemuan multistakeholder dalam rangka penguatan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di Aula BKPSDM Ciamis, Kamis (24/10/2024).
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
Penjabat (Pj) Bupati Ciamis, H. Engkus Sutisna membuka secara resmi kegiatan ini. Dalam sambutannya, Engkus menegaskan bahwa perkawinan anak adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak anak.
Dia menekankan bahwa perkawinan anak tidak hanya berdampak negatif terhadap masa depan anak tersebut, tetapi juga menciptakan berbagai masalah sosial.
“Perkawinan anak harus kita cegah, ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan juga untuk mendukung Indonesia Emas 2045,” ungkapnya.
Engkus menjelaskan bahwa anak-anak merupakan aset masa depan yang harus dijaga, dilindungi, dan diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya.
Memaksa anak untuk menikah bukan hanya melanggar hak anak, tetapi juga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka, serta meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan eksploitasi.
Perkawinan anak, menurut Pj Bupati, sering kali mengakibatkan anak-anak terjebak dalam siklus masalah yang berkepanjangan, mulai dari rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan yang buruk, hingga kesulitan ekonomi di masa depan.
Ia menambahkan bahwa anak-anak yang menikah di usia dini berpotensi besar mengalami kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual, yang berdampak pada kesejahteraan mereka.
“Kita harus berkomitmen bersama untuk menekan angka perkawinan anak di Ciamis. Pemerintah, masyarakat, dan semua pihak harus bersinergi dalam menjaga hak anak dan mencegah terjadinya perkawinan usia dini, demi masa depan generasi yang lebih baik,” tegasnya.
Dalam rangka mencapai Indonesia Emas 2045, di mana generasi muda diharapkan menjadi SDM unggul, pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan program-program yang mendukung kualitas keluarga dan perlindungan anak.
Engkus Sutisna berharap agar seluruh elemen masyarakat bekerja sama dalam upaya ini, sehingga cita-cita Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera dapat terwujud.
Kepala Dinas DP3AKB Jawa Barat yang diwakili oleh Kepala Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga, drh. Iin Indasari, menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Ciamis atas terselenggaranya pertemuan ini.
Iin Indasari menegaskan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu isu strategis di Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dari keluarga yang sehat dan kuat. Namun, salah satu kendala yang masih dihadapi adalah tingginya angka perkawinan anak di Jawa Barat.
Berdasarkan data, jumlah dispensasi kawin di Jawa Barat pada tahun 2024 tercatat sebanyak 4.599 kasus.
Meskipun jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, perkawinan anak masih merupakan masalah serius yang berdampak negatif pada pendidikan, kemiskinan, kesehatan reproduksi, dan kesejahteraan generasi muda.
“Fenomena ini juga dapat menghambat upaya peningkatan kualitas SDM di Jawa Barat,” kata Iin.
Untuk itu, kolaborasi multistakeholder menjadi sangat penting dalam menyelesaikan persoalan ini.
Iin Indasari menjelaskan bahwa beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat upaya pencegahan perkawinan anak, antara lain dengan memperkuat peran Puspaga, mengintegrasikan program kebijakan pencegahan perkawinan anak.
Kemudian, melibatkan tokoh masyarakat dan agama dalam edukasi, serta meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak.
Pemprov Jawa Barat, lanjutnya, berkomitmen melalui program “Stopan Jabar” (Stop Perkawinan Anak di Jawa Barat) yang berfokus pada penurunan angka perkawinan anak di Jawa Barat.
Program ini melibatkan kerja sama dengan berbagai instansi, termasuk PKK, BKKBN, pengadilan agama, dan lembaga pendidikan tinggi.
Komitmen bersama ini juga ditindaklanjuti melalui perjanjian kerja sama dengan delapan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki angka perkawinan anak tinggi.
Pertemuan ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai stakeholder untuk bersama-sama menurunkan angka perkawinan anak di Jawa Barat, sekaligus memperkuat ketahanan keluarga sebagai fondasi utama peningkatan kualitas SDM.
Sementara itu, Kepala DP2KBP3A Ciamis, Dian Budiana, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang telah menunjuk Kabupaten Ciamis sebagai salah satu kabupaten prioritas dalam program pencegahan perkawinan anak, yang dikenal dengan program Stopan Jabar (Stop Perkawinan Anak di Jawa Barat).
Ia menekankan bahwa kegiatan ini melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat, organisasi perempuan, serta lembaga pemerintahan terkait.
Dian juga menggarisbawahi pentingnya sinergi antara berbagai pihak dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Ciamis.
“Kita ingin semua stakeholder yang hadir dapat menjalankan perannya masing-masing dalam mendukung program ini. Kita hadirkan organisasi seperti KNPI, Karang Taruna, serta organisasi perempuan dan lembaga lainnya. Harapannya, semua pihak dapat menyatukan pandangan dan strategi untuk menekan angka perkawinan anak di Ciamis,” ungkapnya.
Salah satu dampak negatif dari perkawinan anak, menurut Dian, adalah meningkatnya risiko anak terlahir dalam kondisi stunting, sebuah masalah kesehatan yang harus dicegah sejak awal.
Ia menyatakan bahwa menangani masalah stunting harus dimulai dari hulu, yakni mencegah terjadinya perkawinan anak.
“Ketika pernikahan anak terjadi, ini bisa menyebabkan kehamilan di usia yang belum siap secara fisik dan mental. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan berisiko tinggi untuk mengalami stunting dan masalah kesehatan lainnya,” tambahnya.
Dian juga menekankan peran penting keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Oleh karena itu, program Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) difokuskan pada pemberdayaan keluarga, di mana suami, istri, dan anak-anak memiliki peran penting dalam mencegah perkawinan anak.
“Keluarga adalah pondasi dari masyarakat, dan jika pondasi ini kuat, maka upaya pencegahan perkawinan anak akan lebih efektif,” jelas Dian.
Ia berharap kolaborasi antara berbagai lembaga dan organisasi dalam program ini akan memberikan hasil yang signifikan, sehingga generasi mendatang dapat terhindar dari permasalahan kesehatan dan sosial akibat perkawinan usia dini.***