Molases di Balik Manisnya Gula Merah Kota Banjar

Ketua AIKMA menyebut molases sebagai limbah berisiko kesehatan dan perusak ekosistem gula nasional. Namun distributor lokal membela diri dengan izin BPOM dan sertifikasi halal. Di tengah lemahnya pengawasan, konsumen dibiarkan menebak mana yang benar

Molases di Balik Manisnya Gula Merah Kota Banjar. (Ilustrasi oleh AI)
Molases di Balik Manisnya Gula Merah Kota Banjar. (Ilustrasi oleh AI)
banner 120x600
banner 468x60

Kota Banjar, Berandaperistiwa.com,- Ketua Umum Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (AIKMA), Ir. Suyono menyebut penggunaan molases dalam industri gula merah olahan atau gula coklat sukrosa sebagai praktik yang patut diwaspadai.

Bukan tanpa alasan, menurutnya, molases adalah limbah hasil samping pengolahan tebu yang berpotensi berbahaya jika tidak ditangani dengan pengawasan ketat.

banner 325x300

“Bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas, gangguan pencernaan, hingga ketidakseimbangan elektrolit, apalagi kalau dikonsumsi jangka panjang,” kata Suyono saat diwawancarai pada Kamis, 24 April 2025.

“Saya bilang begini sebagai langkah preventif,” tambahnya.

Masalahnya bukan sekadar soal kesehatan. Regulasi tentang penggunaan molases dalam pangan, terutama di produk gula coklat sukrosa, dinilai belum jelas.

Suyono menilai banyak pelaku IKM, terutama yang bergerak di produksi gula coklat sukrosa tidak mencantumkan komposisi bahan di kemasan.

Padahal, bahan yang digunakan tidak hanya molases, tapi juga gula rafinasi, glukosa, dan sodium metabisulfit.

Molases sendiri, terang Suyono, merupakan cairan kental dengan kadar air tinggi dan bersifat higroskopis atau mudah menyerap air dari udara.

Molases tidak bisa mengeras seperti gula biasa, kecuali dicampur bahan lain atau melalui proses pemanasan ekstrem.

“Makanya, dalam praktiknya molases itu dicampur dengan gula kristal atau sukrosa murni, supaya bisa dicetak jadi gula blok atau gula coklat sukrosa. Kadang juga ditambah glukosa atau zat pengikat lain,” jelasnya.

Yang jadi soal bagi Suyono bukan hanya aspek teknis, melainkan juga implikasi ekonominya.

Ia menilai maraknya molases dalam industri IKM tanpa regulasi justru merusak ekosistem industri gula nasional.

Dampaknya terasa dari hulu ke hilir, petani tebu bisa rugi, pabrik gula lokal bisa kalah saing, dan program swasembada gula pemerintah bisa gagal.

“Molases tanpa pengaturan yang jelas bisa bikin pasar gula lokal rusak. Harga bisa jatuh, kepercayaan konsumen turun, dan industri dalam negeri terpukul,” tegas Suyono.

Tanggapan Distributor Molases

Namun narasi tersebut tak sepenuhnya diterima oleh semua pihak.

Uus Yulius, distributor molases yang berbasis di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, justru menilai pernyataan Suyono tidak akurat dan keluar dari kapasitasnya.

Menurutnya, penilaian terhadap bahan pangan adalah ranah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bukan asosiasi industri.

“BPOM sudah menyatakan molases itu bahan makanan. Aman asal tidak dikonsumsi langsung. Di industri gula coklat sukrosa, molases diolah dulu,” kata Uus saat ditemui di rumahnya di Purwadadi, Kabupaten Ciamis, Kamis (24/4/2025).

Uus juga membantah bahwa molases digunakan sembarangan.

Ia menyebut bahan tersebut sudah memiliki izin edar dan sertifikasi halal dari lembaga terkait seperti LPPOM MUI.

Produk akhir yang memadukan rafinasi, molases, glukosa, dan sodium metabisulfit, menurutnya, disebut sebagai gula coklat sukrosa, bukan gula palsu.

“Soal nama itu bukan saya yang menentukan, BPOM Jawa Barat dan Jawa Tengah yang bilang begitu. Sudah terdaftar juga,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa usahanya yang berdiri sejak 2017 bergerak di bidang jual-beli bahan makanan termasuk distribusi molases, bukan produksi industri.

Dalam seminggu, molases yang ia distribusikan bisa mencapai 90–120 ton, dikirim ke berbagai IKM di Kota Banjar, Ciamis, bahkan Jawa Timur.

“Dalam seminggu bisa 3-4 kali bongkar dengan kapasitas tangki 30 ton,” jelas Uus.

Menurut Uus, kehadiran produk seperti gula coklat sukrosa sebenarnya membantu mengatasi kekurangan pasokan gula nasional.

Namun, karena masih minimnya pemahaman, serta adanya stigma negatif akibat informasi yang keliru, banyak pelaku usaha akhirnya jalan di tempat.

Lemahnya Pengawasan

Masalah lain yang tak kalah penting adalah lemahnya pengawasan.

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa salah satu IKM di Langensari menggunakan campuran 100 kg gula rafinasi, 50 kg molases, 10 kg glukosa, dan sodium metabisulfit dalam satu kali produksi.

Tak ada satu pun bahan ini yang tercantum di label produk.

Kepala Bidang Industri DKUKMP Kota Banjar, Yadi, mengaku tidak memiliki data soal distributor molases di wilayahnya.

“Coba tanyakan ke bidang perdagangan,” katanya, Rabu (20/4/2025).

Namun, saat dikonfirmasi, Kabid Perdagangan Riyanti Savitrie malah tidak tahu apa itu molases.

“Nanti kita cek ke lapangan,” ucapnya.

Sementara itu, Dinas Kesehatan melalui Kasi Kesehatan Lingkungan, Jujun, mengatakan pihaknya hanya mengawasi aspek sanitasi proses produksi, bukan komposisi bahan.

Terkait PIRT, Jujun menyampaikan bahwa ada sekitar 400 an IKM yang terdata di Dinkes.

Sementara untuk IKM gula coklat sukrosa dia tidak mengetahui secara pasti berapa yang sudah mempunyai PIRT.

Jujun menambahkan bahwa molases tergolong bahan pangan, dan penggunaannya tidak dilarang selama sesuai standar keamanan.

“Kalau ingin tahu nilai gizinya, itu diatur dan diuji oleh BPOM,” jelas Jujun.

Ia menyebut pihaknya tengah melakukan pengawasan lapangan di Langensari terhadap industri gula merah olahan.

Nasib Konsumen

Polemik molases di Kota Banjar memperlihatkan satu hal, ketika regulasi tidak sinkron dan pengawasan longgar, industri bisa berjalan di wilayah abu-abu.

Apa yang diklaim aman oleh pelaku usaha bisa jadi merugikan konsumen, sementara yang dianggap berbahaya belum tentu dilarang secara hukum.

Di tengah ketiadaan kejelasan itu, konsumen dibiarkan menilai sendiri mana yang bisa dipercaya, tanpa kepastian dari pemerintah.***

Views: 21

Views: 12

banner 325x300

Tinggalkan Balasan