Ciamis, Berandaperistiwa.com,- Ketika Pemerintah Kabupaten Cilacap mulai menertibkan produksi pangan olahan melalui regulasi teknis yang rinci, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar justru masih tertatih dalam membangun sistem pengawasan yang efektif terhadap industri gula coklat sukrosa.
Akibatnya, praktik produksi yang tak memenuhi standar keamanan pangan masih marak, terutama di tingkat Industri Kecil dan Menengah (IKM).
“Ada kesenjangan nyata antara kesadaran dan kebijakan. Banyak produsen tahu bahwa mereka melanggar batas aman, tapi tidak merasa perlu berubah karena tidak ada sanksi nyata,” ujar Muhamad Abid Buldani, aktivis Komunitas Lingkar Mata Hati, saat ditemui di Ciamis, Selasa (20/5/2025).
Cilacap Bercahaya
Langkah Cilacap terbilang progresif. Pada awal September 2024, Bupati Cilacap menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 33 Tahun 2024 tentang Standardisasi Industri Gula Coklat Sukrosa.
Perbup ini secara eksplisit mengatur batas kadar sukrosa, penggunaan bahan tambahan pangan, standar gizi, pelabelan, serta kewajiban pengolahan air limbah.
Lebih dari itu, pengawasan dilakukan oleh Tim Jejaring Keamanan Pangan Daerah (TJKPD) yang diberi mandat memberi sanksi administratif, dari peringatan tertulis, penarikan produk, hingga pencabutan izin usaha.
Menurut Abid, model seperti ini penting untuk diadopsi, karena tidak hanya memberi arahan teknis, tetapi juga memastikan adanya konsekuensi hukum jika produsen abai.
Ciamis dan Banjar Masih Ompong
Di Ciamis, terutama di Kecamatan Lakbok yang dikenal sebagai produsen gula coklat sukrosa, temuan penggunaan natrium metabisulfit di atas ambang batas BPOM (maksimum 20 mg/kg) sudah bukan rahasia.
Namun hingga kini, Pemkab belum memiliki regulasi teknis seperti Cilacap. Edukasi dilakukan, tetapi tanpa payung hukum yang kuat, upaya tersebut cenderung mandek.
“Produk banyak yang tidak mencantumkan komposisi. PIRT juga banyak yang belum urus. Ini jelas berisiko,” ujar Abid.
Ia menambahkan, sebagian besar produsen mengandalkan naluri dan pengalaman, bukan pengetahuan keamanan pangan.
Sementara di Kota Banjar, kondisi tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Ciamis. Pengawasan dan penegakan aturan masih ompong. Dinas terkait tak bergigi.
Risiko Konsumen dan Kelemahan Sistemik
Ketika pengawasan longgar dan informasi produk minim, konsumen berada di posisi paling rentan.
Natrium metabisulfit, meski lazim digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP), bisa memicu reaksi alergi, sesak napas, hingga kerusakan organ bila dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang.
Salah satu temuan terungkap dalam kegiatan pembinaan dan pengawasan rutin yang dilakukan Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan (DKUKMP) Ciamis bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, Balai Besar POM dan Disperindag Jawa Barat, serta aparat Kecamatan Lakbok pada Senin (19/5/2025).
Salah satu IKM GCS di Lakbok Ciamis dalam satu kali proses produksi berkapasitas 1,5 kwintal (150 kilogram), diketahui menggunakan natrium metabisulfit mencapai 250 hingga 500 gram.
Padahal, menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 11 Tahun 2019, batas maksimum residu sulfit (dihitung sebagai SO₂) yang diperbolehkan dalam produk pangan hanya 20 mg/kg.
“Ini bukan sekadar soal makanan. Ini soal keselamatan publik. Tapi sayangnya, kita belum serius menanganinya,” kata Abid dengan nada geram.
Jangan Malu Belajar dari Cilacap
Abid menilai, kunci reformasi pengawasan pangan lokal ada pada keberanian pemerintah daerah menerbitkan regulasi teknis, seperti Cilacap.
Tanpa itu, edukasi hanya akan menjadi rutinitas seremonial.
Ia juga mendorong pembentukan tim pengawasan pangan lintas sektor dengan wewenang nyata dan sistem pemantauan yang terintegrasi.
“Selama ini, pelaku usaha merasa bebas karena tahu tidak ada yang benar-benar mengawasi. Padahal kita bicara tentang kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Ketika daerah lain masih sibuk membangun narasi, Cilacap sudah menata sistem.
Dan hasilnya terlihat, standar produksi lebih rapi, label lebih jelas, dan pengawasan berjalan.
“Kalau kita terus membiarkan produksi pangan dilakukan tanpa standar, kita sedang berjudi dengan kesehatan generasi sendiri,” tegas Abid.***
Views: 13