Gula Rafinasi di Lakbok Ciamis: Ketika Industri Pengguna Punya Anggota

Permendag 17/2022 Tegas Batasi GKR, Tapi Pola Distribusi di Daerah Menyimpan Celah

Sosialisasi distribusi dan pengolahan gula rafinasi di Gedung Mandala Krida Korwil Lakbok pada Rabu (28/5/2025). (Foto: Ist)
Sosialisasi distribusi dan pengolahan gula rafinasi di Gedung Mandala Krida Korwil Lakbok pada Rabu (28/5/2025). (Foto: Ist)
banner 120x600
banner 468x60

Ciamis, Berandaperistiwa.com,– Di tengah upaya pemerintah membatasi peredaran gula kristal rafinasi (GKR) hanya untuk industri pengguna, praktik distribusi di Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis, justru menampilkan dinamika yang janggal.

Sejumlah CV teridentifikasi memiliki “anggota”, sebuah istilah yang secara struktur tidak sesuai dengan definisi industri pengguna dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 17 Tahun 2022.

banner 325x300

Kejanggalan ini terungkap dalam dokumen resmi berupa surat undangan sosialisasi distribusi dan pengolahan GKR bernomor: 005/335/Kec.2025 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kecamatan Lakbok pada 27 Mei 2025.

Dalam surat itu, tercantum enam CV beserta “anggota”-nya, format struktur yang lebih menyerupai koperasi. Satu CV tidak ditulis beserta anggotanya. Jadi ada 7 CV di Lakbok yang diundang dalam surat ini.

Padahal, secara hukum, CV dan koperasi adalah dua entitas berbeda. CV tidak boleh memiliki anggota seperti koperasi, apalagi jika dikaitkan dengan distribusi GKR yang sangat ketat.

Celah yang Dibiarkan

Permendag 17/2022 menyatakan bahwa GKR hanya boleh digunakan oleh industri pengguna akhir seperti pabrik makanan dan minuman, farmasi, herbal, tembakau, hingga sektor hotel dan katering (HOREKA).

Bukan untuk diperjualbelikan ulang, apalagi didistribusikan ke pihak lain.

Logikanya sederhana, industri pengguna adalah entitas tunggal, yang memakai GKR hanya untuk proses produksinya sendiri.

Maka muncul pertanyaan besar, kalau sebuah CV punya anggota, apakah benar gula rafinasi itu dikonsumsi sendiri? Atau justru mengalir ke pihak-pihak lain di luar skema legal?

Minim Pengawasan, Praktik Abu-abu Dibiarkan

Kepala Bidang Perdagangan DKUKMP Ciamis, Asep Sulaeman, saat diwawancarai usai acara sosialisasi GKR di Gedung Mandala Krida Korwil Lakbok pada Rabu (28/5/2025), menegaskan bahwa penindakan pelanggaran distribusi GKR bukan kewenangan daerah.

“Penindakan ada di Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga di Kementerian Perdagangan. Kami hanya bisa meneruskan laporan masyarakat,” ujarnya.

Sosialisasi ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk dari kepolisian, BPOM, Dinas Kesehatan, dan DPRKPLH Ciamis.

Masalahnya, praktik abu-abu di lapangan sudah menabrak batas antara industri pengguna dan distributor.

Jika dibiarkan, skema ini berpotensi menjadi saluran distribusi terselubung GKR ke pasar bebas, sesuatu yang justru ingin dicegah melalui beleid tersebut.

Dua Jalur Resmi, Tapi Banyak Tikungan

Lebih lanjut, Asep menyampaikan bahwa dalam Permendag disebutkan hanya ada dua jalur distribusi GKR yang sah:

Skema 1: Produsen → Industri pengguna langsung

Skema 2: Produsen → Koperasi resmi → Industri pengguna (yang menjadi anggota koperasi)

“Gula rafinasi itu dari raw sugar yang diimpor. Tidak boleh beredar di pasar bebas,” tegas Asep.

Sampai saat ini, setidaknya ada 14 koperasi resmi di Indonesia yang direkomendasikan oleh pemerintah untuk menyalurkan GKR.

Bila bukan koperasi dan tidak dalam jalur resmi, maka distribusinya bisa dianggap ilegal.

Efek Domino ke Gula Lokal

Distribusi GKR di luar jalur resmi bukan cuma persoalan administratif, tapi juga mengancam ekosistem gula lokal.

Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (AIKMA), Ir. Suyono menegaskan bahwa GKR, yang lebih murah dan lebih putih karena hasil rafinasi industri, bisa membuat harga gula petani anjlok bila masuk ke pasar umum.

“Tujuan regulasi ini untuk melindungi gula lokal agar tetap punya ruang bersaing. Kalau gula rafinasi membanjiri pasar, petani tebu lokal bisa kolaps,” tegasnya, Rabu (28/5/2025).

Harus Ada Audit Lapangan

Menurut Aktivis Lingkar Mata Hati Ciamis, Muhamad Abid Buldani, temuan bahwa enam CV di Lakbok memiliki “anggota”, yang termuat dalam surat resmi pemerintah kecamatan, menjadi indikasi kuat bahwa penyimpangan struktur distribusi bisa saja terjadi secara sistematis.

Dia menegaskan perlunya audit segera oleh otoritas pusat.

“Audit lapangan dari kementerian perlu segera dilakukan. Status ‘industri pengguna’ jangan sampai dimanipulasi jadi topeng distribusi terselubung,” tegasnya, Kamis (29/5/2025).

Abid menyebut, ketika sebuah CV, yang semestinya hanya menyerap GKR untuk kebutuhan produksi internal, justru memiliki “anggota”, maka itu bukan lagi soal administrasi.

Itu sudah menyentuh ranah sistemik dan niat distribusi ilegal.

“Dengan fenomena ‘industri pengguna punya anggota’, publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang mengonsumsi GKR ini? Benarkah untuk produksi, atau sekadar pintu masuk distribusi yang tersembunyi?,” katanya.

Regulasi Lemah di Ujung Rantai

Fenomena di Lakbok menjadi cermin bahwa regulasi yang rapi di atas kertas bisa lumpuh di lapangan.

Pemerintah pusat perlu turun tangan, bukan hanya memberi regulasi, tapi juga menindak tegas pelaku yang mengelabui sistem.

Karena jika tidak, petani lokal akan terus tertekan, dan pasar nasional bakal dikuasai oleh gula impor yang menyamar di balik nama “industri pengguna.”

“Ketika industri pengguna punya anggota, maka persoalannya bukan cuma soal distribusi, tapi soal niat,” pungkas Abid.***

Views: 21

Views: 17

banner 325x300

Tinggalkan Balasan