Ciamis, Berandaperistiwa.com,- Pemilihan pengurus baru Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Ciamis semakin dekat.
Di tengah riuh dinamika organisasi, suara-suara mulai menggema dari berbagai penjuru kecamatan.
Tak sekadar soal siapa yang akan naik ke pucuk kepemimpinan, tetapi juga tentang arah ke mana organisasi ini akan dibawa, sebagai alat perjuangan profesi, atau sekadar simbol struktural yang jinak.
Nanang Heryanto, tokoh muda yang saat ini menjabat Sekretaris Bidang Informasi dan Komunikasi PGRI Ciamis, muncul sebagai salah satu figur yang menyita perhatian.
Ia tidak datang dengan janji bombastis atau pendekatan populis.
Sebaliknya, Nanang menempatkan dirinya sebagai bagian dari proses regenerasi alami, yang menurutnya lahir dari suara akar rumput.
“Saya tidak maju karena diminta tokoh tertentu. Ini mandat dari beberapa PGRI cabang kecamatan. Mereka yang meminta saya untuk melanjutkan pengabdian,” kata Nanang, Senin (2/6/2025).
Bagi Nanang, organisasi guru bukan ruang formalitas. Ia melihat PGRI sebagai medan perjuangan kultural yang harus dijaga kemerdekaannya.
Nanang mengkritik anggapan lama yang masih menempatkan PGRI sebagai bagian dari Dinas Pendidikan.
Pemahaman ini, menurutnya, bukan hanya salah secara struktural, tetapi juga membahayakan bagi posisi tawar guru secara keseluruhan.
“PGRI adalah mitra sejajar, bukan subordinat Dinas Pendidikan. Kalau cara pandang ini tak diluruskan, maka fungsi kritis dan independensi organisasi akan hilang,” ujarnya tegas.
Nanang tidak hanya bicara soal struktur organisasi.
Ia berbicara tentang prinsip, sejarah, dan makna keberadaan PGRI sebagai organisasi profesi yang dilahirkan dari semangat perlawanan dan perjuangan guru.
PGRI, dalam pandangannya, seharusnya menjadi rumah besar yang mampu merangkul semua suara, bukan ruang elit yang tertutup dari dinamika bawah.
Antara Regenerasi dan Reposisi Organisasi
Kemunculan nama Nanang dalam bursa calon pengurus baru PGRI bukan semata tentang popularitas.
Ia menyadari bahwa pemilihan ini adalah momentum penting untuk menegaskan kembali arah organisasi.
Terutama di tengah realitas bahwa banyak guru merasa PGRI kini terlalu administratif dan kehilangan daya kritis.
“Ini bukan soal ambisi pribadi. Ini soal amanah dan kehendak dari bawah. Saya hanya menjalankan peran yang diminta,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Nanang menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai dasar organisasi, termasuk memahami AD/ART serta sejarah berdirinya PGRI.
Dia menyebut, tanpa fondasi itu, kepemimpinan organisasi berisiko melenceng dari jalurnya dan terjebak dalam praktik kekuasaan pragmatis.
“Regenerasi itu harus dari bawah, bukan atas. Kalau calon lahir dari penunjukan elite, itu bukan demokrasi. Itu kooptasi,” ujarnya.
Pandangan tersebut mencerminkan keprihatinan akan menjamurnya budaya patronase dalam organisasi profesi.
Dalam beberapa tahun terakhir, posisi strategis di berbagai asosiasi guru kerap menjadi rebutan segelintir elite yang tak selalu mewakili kepentingan lapangan.
Guru, Politik, dan Profesionalisme
Isu independensi organisasi guru tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan politik lokal.
Nanang menyoroti kecenderungan sebagian pihak yang menjadikan PGRI sebagai kendaraan politik atau instrumen birokrasi.
“Kalau PGRI tunduk pada tekanan politik atau birokrasi, maka keberpihakan kita pada guru akan luntur. Kita akan kehilangan jati diri,” kata dia.
Apa yang disampaikan Nanang sejatinya merupakan refleksi kegelisahan banyak guru yang merasa suara mereka tak tersalurkan secara utuh di dalam struktur organisasi.
Dalam situasi seperti itu, upaya menghidupkan kembali ruang diskusi dari bawah menjadi krusial.
Demokratisasi internal menjadi kata kunci yang terus digaungkan.
Dengan pengalaman di bidang informasi dan komunikasi, Nanang melihat pentingnya membangun saluran komunikasi dua arah antara pengurus dan anggota.
Bukan hanya untuk mendengar aspirasi, tetapi juga untuk merawat kepercayaan.
“Profesionalisme guru bukan hanya soal sertifikasi atau pelatihan. Tapi juga tentang bagaimana organisasi mendengar, merespons, dan memperjuangkan secara nyata,” tegasnya.
Menuju PGRI yang Bermartabat
Lebih lanjut, Nanang menyampaikan harapan agar pemilihan ini tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan semata.
Menurutnya, seluruh anggota PGRI harus menjadikan momentum ini sebagai konsolidasi kolektif, untuk membingkai ulang cita-cita organisasi.
“PGRI bukan milik segelintir orang. Ini rumah bersama. Dan rumah ini harus kita rawat dengan nilai, bukan hanya dengan jabatan,” katanya.
Dalam politik organisasi yang sarat manuver dan intrik, suara seperti ini mungkin terdengar idealis.
Tapi justru idealisme seperti inilah yang dibutuhkan untuk mengembalikan organisasi profesi pada marwahnya, membela guru, melayani anggotanya, dan menjaga jarak dari kekuasaan yang berpotensi mencederai independensi.***
Views: 18