BerandaPeristiwa, Ciamis,- Paguyuban Pemuda Lembur Ciamis (PPLC) melontarkan kritik tajam kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Ciamis dalam aksi dan audiensi pada Jumat (31/05/2024).
Kritik dari Paguyuban Pemuda Lembur Ciamis (PPLC)
Ketua PPLC, Ade Apipudin, bersama empat pengurus lainnya, mengungkapkan berbagai permasalahan, termasuk penggunaan anggaran prioritas yang tidak tepat dan dugaan pungutan liar oleh oknum DPMD.
“Dalam penggunaan dana desa, ada skala prioritas yang masyarakat butuhkan di setiap desa yang tentunya berbeda. Namun, yang terjadi di Kabupaten Ciamis jelas mencederai hati nurani masyarakat,” ujar Ade.
Ia menyatakan bahwa lebih dari 60 desa di Ciamis telah membeli kendaraan roda empat, sementara masih banyak warga miskin dan terlantar yang membutuhkan bantuan.
“Kami mempertanyakan fungsi verifikasi, monitoring, dan evaluasi pada setiap pengajuan, pencairan, pelaksanaan, dan pelaporan kegiatan desa. Apakah benar DPMD mengumpulkan pungli dari setiap desa?” tambahnya.
Tuntutan PPLC terhadap DPMD
Dalam aksi tersebut, PPLC menyampaikan beberapa tuntutan:
1. Evaluasi ulang desa-desa yang membeli mobil menggunakan Dana Desa karena melanggar Permendes Nomor 7 Tahun 2023 tentang rincian prioritas penggunaan Dana Desa.
2. Tindak tegas atau pecat pegawai DPMD dengan dugaan melakukan pungli.
3. Pegawai DPMD harus memberikan pelayanan yang baik sesuai SOP pelayanan publik.
Belum Ada Tanggapan dari DPMD
Hingga berita ini terbit, DPMD belum memberikan tanggapan terkait tuntutan PPLC.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Dana Desa.
Dengan adanya pengawasan ketat dan transparansi, diharapkan pembangunan desa dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak terhambat oleh penyalahgunaan wewenang.
Dugaan Pelanggaran dalam Pengelolaan Dana Desa
Meski otonomi desa mendapat pengakuan, berbagai pelanggaran mulai terindikasi.
Dugaan penyalahgunaan wewenang oleh perangkat desa, terutama terkait penganggaran, mencuat meskipun pengawasan berlangsung melalui Online Monitoring SPAN (Omspan).
Desa sering diduga mengakali perencanaan dan penganggaran untuk meloloskan item yang tidak sesuai kebutuhan.
Baca juga: Dua Anggota Panwascam Cikoneng Mengundurkan Diri, Kecewa terhadap Kinerja Bawaslu Ciamis
Pengakuan Otonomi Desa dalam UUD 1945
Indonesia sebagai negara besar dibangun dari desa-desa yang memiliki sistem demokrasi otonom dan berdaulat.
Desa-desa ini, dengan norma sosial dan pemerintahan sendiri, telah menjadi fondasi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, pembangunan desa masih sering terabaikan, terutama dalam hal pengembangan sumber daya manusia.
Setelah amandemen UUD 1945, istilah desa tidak lagi disebut secara eksplisit, tetapi keberadaannya tetap diakui dan dihormati.
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan adanya sekitar 250 daerah yang memiliki susunan asli dan dianggap istimewa, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, serta dusun dan marga di Palembang.
Negara wajib memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan serta hak tradisional desa-desa tersebut.***