Kota Banjar, Kab. Ciamis, Berandaperistiwa.com,- Truk-truk pengangkut gula kristal rafinasi (GKR) itu datang silih berganti ke Lakbok, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Kadang siang bolong. Kadang menjelang tengah malam.
Dari sana, ribuan kilogram gula rafinasi diduga rembes mengalir ke industri kecil menengah (IKM) di Kota Banjar, Pangandaran, hingga ke Jawa Tengah.
Sadiman, pengrajin gula coklat di Desa Waringinsari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, tak menampik ia memakai gula rafinasi dalam produksinya.
Ia menyebut satu nama, Ibu D dari Lakbok Ciamis.
“Saya dapat dari Ibu D,” katanya saat ditemui, Kamis (17/4/2025).
Sadiman menggunakan 100 kilogram gula rafinasi, dicampur 50 kilogram molases, glukosa, dan natrium metabisulfit sesuai permintaan dalam sekali olahan.
Dalam sepekan, ia menghasilkan 8,7 ton gula coklat sukrosa yang dikemas dan dikirim ke pasar besar, termasuk Bekasi dan Semarang.
Sadiman mempekerjakan 20 orang.
Tak ada yang aneh dari bisnisnya, kecuali satu hal, sumber gula rafinasi yang ia gunakan diduga bukan berasal dari distributor resmi.
Dia juga mengaku kerap didatangi oleh oknum aparat. “Sering. Ya, minta duit,” ucapnya.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2019 mengatur bahwa GKR hanya boleh didistribusikan ke industri besar pengguna akhir melalui saluran resmi yang ditunjuk Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI).
Tapi fakta di lapangan, terutama di Lakbok Ciamis, aturan itu seperti tak berlaku.
Praktik yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif
CV milik Ibu D, yang disebut Sadiman, beroperasi dari rumah pribadi.
Gudangnya hanya berjarak ratusan meter dari rumah utama.
Menurut informasi yang dihimpun Beranda Peristiwa, dalam seminggu CV ini bisa menerima tiga kali pengiriman gula rafinasi dari sebuah PT di Jakarta.
Sekali kirim, Bu D dapat pasokan 35 ton. Dalam sepekan, jika dirata-rata, CV Bu D menerima pasokan 105 ton.
Masalahnya, dari total itu, hanya sekitar 1,4 ton yang digunakan untuk produksi gula coklat sukrosa milik Ibu D dan suaminya, Pak T.
Sisanya, menurut sumber Beranda Peristiwa, diduga dijual kembali ke berbagai IKM lain di wilayah Priangan Timur hingga Jawa Tengah.
“Produksi gula coklat sukrosa mereka maksimal sekitar dua ton sehari. Kalau dihitung, paling butuh satu koma empat ton per minggu. Sisanya dikemanakan?” ujar seorang sumber yang minta namanya dirahasiakan.
Tak hanya satu, setidaknya ada sembilan CV lain di Lakbok yang menjalankan praktik serupa.
Modusnya sama, mendirikan IKM sebagai kedok, lalu diduga mendistribusikan gula rafinasi secara gelap ke IKM-IKM kecil.
Sumber lain menyebut, truk yang datang ke gudang CV Ibu D kerap berganti-ganti pelat nomor.
“Macem-macem, ada pelat AD, Z, D. Kadang langsung dipindah ke truk yang sudah stand by,” katanya.
Di Balik Gula Murah, Ada Petani Tebu yang Menjerit
Gula rafinasi yang bocor atau rembes ke pasar konsumsi menjadi persoalan serius.
Ketua Umum Asosiasi Industri Kecil Menengah Agro (AIKMA), Ir. Suyono, menyebut rembesan gula rafinasi dapat memukul ekonomi nasional.
“Gula putih biasa atau gula konsumsi dari pabrik tebu lokal tidak akan laku. Harga gula rafinasi itu lebih murah dari GKP. Harga anjlok. Pabrik gula bisa tutup,” ujarnya, Kamis, 8 Mei 2025.
Suyono menyebut sekitar 15 juta tenaga kerja menggantungkan hidup dari industri tebu nasional.
“Dari tukang cangkul, pengangkut, hingga petugas pabrik. Semua terdampak. Kalau rembesan gula rafinasi ini dibiarkan, bisa menghantam ekonomi nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Suyono menyampaikan bahwa para pelaku IKM bisa mendapat pasokan gula rafinasi dari penyalur resmi sesuai Permendag No 01 Tahun 2019.
“Aturan sudah jelas. Kalau ada larangan berarti ada sanksi bagi yang melanggar. Baik administrasi sampai pidana. Industri yang ngeyel, bisa dicabut izin usahanya,” jelasnya.
Data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat mencatat, harga gula konsumsi dari pabrik tebu lokal (GKP) turun 20 persen dalam tiga tahun terakhir.
Penderes gula kelapa dan gula aren pun ikut terpukul.
“Gula coklat sukrosa harganya jauh di bawah kami. Lebih murah. Produk gula kelapa kami tak laku di pasar. Banyak penderes yang kini menganggur,” keluh seorang penderes dari Kecamatan Pamarican, Ciamis.
Manis yang Mengandung Risiko
Tak hanya ekonomi yang terancam. Kesehatan konsumen juga dipertaruhkan.
Dalam sejumlah uji laboratorium, gula coklat sukrosa hasil olahan campuran gula rafinasi dan berbagai bahan lainnya ditemukan mengandung natrium metabisulfit dalam kadar sangat tinggi.
Di Cilacap, misalnya, kandungan pengawet itu mencapai 7.000 mg/kg, jauh melampaui batas aman Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yakni 40 mg/kg.
Paparan dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, alergi, hingga asma.
Pemerintah Daerah Tak Bergigi
Sementara itu, pemerintah daerah seolah tak berkutik. Pemkab Ciamis saat ini tengah mendorong IKM gula coklat sukrosa melalui program TKDN dan sertifikasi halal.
Kecamatan Lakbok Ciamis bahkan ditetapkan sebagai sentra industri gula merah. Tapi pengawasan distribusi bahan baku justru longgar.
Pemkot Banjar pun tak lebih siap. Di wilayah yang kerap disebut zona produksi unggulan ini, tak ada inspeksi rutin. Tak ada penindakan.
Fakta di lapangan, rembesan gula rafinasi terus berlangsung tanpa hambatan.
Beranda Peristiwa mencoba mengkonfirmasi ke CV Ibu D pada Kamis, 8 Mei 2025.
Seorang pekerja menyatakan pemilik tidak berada di rumah.
“Barusan keluar,” ujarnya singkat.
Warga sekitar menyebut Ibu D dan suaminya kemungkinan ada di rumah, namun enggan diwawancarai.
“Sampai kiamat juga gak akan mau ketemu,” ujar seorang warga.
Pertanyaannya: sampai kapan rembesan gula rafinasi ini dibiarkan?***
Views: 0